Dr.
Kamal al-HaIbawi, alim Mesir yang tinggal di Pakistan, dalam sebuah
ceramahnya pernah mengisahkan pandangan seorang ulama tradisional
tatkala ditanya komentarnya tentang peran perempuan dalam Islam: “Perempuan
hanya boleh keluar rumah dalam tiga kondisi, pertama keluar dari
rahim ibunya saat ia dilahirkan. Kedua, keluar menuju rumah suaminya
setelah pernikahan dan ketiga keluar dari rumahnya menuju liang lahat,
tempatnya beristirahat untuk selama-lamanya!”
Landasan apa yang digunakan sehingga ia berpendapat demikian? Apa
dalilnya, dari sudut mana ia memandang permasalahan perempuan dalam
Islam? Apa yang melatarbelakangi pernyataan itu muncul? Mungkin itu sederet pertanyaan yang meluncur dari bibir kita saat mendengar fatwa sang ulama di atas. Tapi masalah peran dan posisi muslimah, khususnya di bidang ilmiah, dalam gambar kebangkitan Islam yang kian marak dan menjamur memang sebuah misteri yang masih remang-remang.
Fenomena Muslimah
Bicara masalah perempuan, seperti yang Rasul katakan, jika tak hati-hati, sama dengan mengurai benang kusut yang memiliki banyak simpul. Sampai-sampai Rasul SAW pernah bersabda bahwa babus syaithan dan babun nisaa merupakan dua topik yang tak pemah habis dibahas, dikaji dan diseminarkan.
Namun ini bukan berarti bahwa dua bab ini tak dapat dikaji tuntas.
Tentu bisa. Islam telah memberikan demikian banyak petunjuk, dimanakah
orbit perempuan dalam sistem raya Islam ini. Menurut tuntunan Rasul,
Islam sebagai agama yang amat memperhatikan masalah keseimbangan,
menegaskan bahwa perempuan adalah pendamping pria dalam upaya
menegakkan kalimat Allah. Jika hendak diumpamakan wanita dan pria
laksana dua bintang yang berada pada orbit yang berbeda, namun memiliki
peran yang sama menentukan bagi kesimbangan jagat ini.
Perkembangan zaman menghadirkan masalah-masalah baru bagi muslimah.
Hal-hal yang selama ini tak pernah ada dalam kamus kemuslimahan
tiba-tiba muncul. Ide emansipasi dan ideologi feminisme masuk mengisi
rongga otak banyak muslimah. Hasilnya berwujud berseliwerannya para
perempuan memenuhi ruang perkantoran, pusat perbelanjaan, dan
pabrik-pabrik. Sebagian menorehkan prestasi di bidang ilmu, sementara
sekelompok lainnya asyik menekuni bidang politik bahkan militer.
Dan, banyak fakta menunjukkan bahwa prestasi yang dihasilkan kaum
hawa ini tak beda jauh, sebagian bahkan melampaui apa yang diraih
pria. Ide dan contoh nyata ini tentu memberikan inspirasi serta
motivasi baru bagi sebagian muslimah untuk mengekor keberhasilan rekan
sejenisnya di belahan bumi lain, mayoritas di barat. Arus ini
bagaikan badai yang menerjang benteng pertahanan yang selama ini
dibangun untuk melindung perempuan agar tetap ada dalam istananya.
Di sisi yang lain arus ini juga memunculkan pertanyaan pada sebagian
muslimah ihwal gugatannya terhadap “pagar-pagar” yang selama ini
membatasi ruang geraknya dalam beraktivitas. Khususnya pada peran yang
dapat diemban seorang muslimah dalam gerak kebangkitan ummat yang
tengah berlangsung ini.
Menggugat Mitos
Di antara masalah yang mungkin sering menggelegak dalam jiwa para
muslimah namun takut untuk mengungkapkannya ke permukaan adalah
banyaknya mitos yang berkembang memagari seorang muslimah.
Dr. Yusuf Qardhawi pernah melontarkan keheranannya saat ia melihat
fenomena maraknya upaya menjauhkan para muslimah dan majelis ilmu. “Tahun
70-an, saya terus menghadiri muktamar tahunan Asiosasi Mahasiswa
Islam Amerika dan Kanada selama beberapa tahun, dimana ikhwan dan
muslimah hadir menyaksikan jalannya ceramah. Muslimah yang hadir disitu
ikut mendengar komentar, pertanyaan, jawaban dan diskusi tentang
masalah-masalah Islam yang besar, baik menyangkut fikrah, ilmiyah,
sosial, pendidikan dan politik. Tapi tahun delapan puluhan, suasana
menjadi berubah. Ketika saya menghadiri beberapa muktamar di Eropa dan
Amerika, saya temukan pemisahan total dua jenis kelamin itu. Saya
lihat para akhwat tidak dapat menghadiri sebagian besar dan
ceramah-ceramah, diskusi dan seminar yang dikelola oleh laki-laki.
Padahal forum itu begitu penting bagi wanita. Di antara muslimah ada
yang mengadu pada saya tentang kebosanan mereka mengikuti
ceramah-ceramah yang hanya seputar kewanitaan saja, seperti hak-hak,
kewajiban dan kedudukan wanita dalam Islam.” (Prioritas Gerakan Islam, Dr. Yusuf Qardhawi, Buku Kesatu, hal. 98-99).
Itu baru satu kasus. Masih ada yang lain, seperti anggapan suara
wanita itu aurat, bertanya melalui kertas, ketakutan menolak calon
suami dan lain-lain. Dalam masalah yang khas dengan peran muslimah
menuntut ilmu, mitos itu bisa tercium dari pandangan sinis terhadap
mereka para muslimah yang aktif menekuni ilmu di bangku sekolah dan
perguruan tinggi.
Keengganan
sebagian muslimah yang memiliki kesempatan dan kemampuan untuk
melanjutkan pendidikan bertolak dari anggapan bahwa bekal seorang
muslimah yang utama adalah berbakti pada suami dan menjadi ibu.
Sementara kebingungan melanda sebagian muslimah yang sudah
menyelesaikan atau tengah berjuang menyelesaikan pendidikannya kemana
akan dimanfaatkan ilmunya itu nanti. Semuanya tersimpul menjadi satu
mengikat dan membatasi peran muslimah dalam sumbangannya terhadap
kebangunan Islam.
Akar Masalah
Lalu kenapa pemikiran nyeleneh atau mitos tentang muslimah itu muncul dan malah seolah disahkan dalam aktivitas keseharian? Berikut beberapa penyebabnya :
Lalu kenapa pemikiran nyeleneh atau mitos tentang muslimah itu muncul dan malah seolah disahkan dalam aktivitas keseharian? Berikut beberapa penyebabnya :
Pertama,
masalah keluasan pemahaman seseorang. Masalah kefahaman ini amat
menentukan persepsi dan amal seseorang tentang suatu hal. Pemahaman
yang luas, integral dan terpadu akan membuat seseorang arif dalam
mengeluarkan fatwa atau pendapat.
Islam tak pernah memandang dan menilai muslimah sebagai masyarakat
kelas dua dengan hak dan tanggung jawab yang lebih rendah dari kaum
pria. Islam mewajibkan menuntut ilmu bagi wanita dan pria, nabi
Muhammad SAW mewasiatkan agar orang tua mengutamakan pendidikan anak
perempuannya : “Barangsiapa mempunyai anak perempuan, kemudian mendidiknya, berbuat baik kepadanya, dan mengawinkannya, baginya syurga.” (HR. Ibnu Hibban).
Panggung sejarah keagungan Islam jelas banyak melibatkan peran aktif
kaum muslimah di berbagai bidang. Di sisi jihad dan tadhiyyah
(pengorbanan) mereka kepada Islam, tercatat Summayyah lah sebagai
muslimah pertama yang menyumbangkan nyawanya demi keimanan dan
memperoleh syahadah. Manusia pertama yang menyambut da’wah Islam
sekaligus menopang banyak manuvernya juga dari kaum muslimah; Khadijah
binti Khuwaiiid ra.
Selain itu banyak pula dikisahkan, para shahabiyyat ra yang turut
membantu kaum muslimin dalam peperangan. Di bidang pengetahuan juga
tidak kalah. Para shahabiyat ra pernah meminta agar diadakan pertemuan
khusus buat mereka dalam mempelajari ilmu, sebagaimana yang dilakukan
Rasul kepada para shahabat. Kemudian Nabi memenuhi kehendak mereka
dengan memberikan waktu khusus.
Aisyah Ummul mu’minin ra dikenal sebagai orang yang paling ahli
tentang fiqih, kedokteran dan puisi. Karena kepandaiannya itu
Rasulullah pernah berkata kepada para shahabat-nya: “Ambilah separuh agama kalian dan AI-Humairan ini, yakni sayyidatina Aisyah ra, Ummul mukminin”. Dalam
ilmu hadits, lbnu Asakir menyebutkan lebih dan delapan puluh wanita
ahli hadits. Aliyah binti Hasan, pemimpin Bani Syaiban, seorang yang
cerdik lagi terhormat sering dikunjungi oleh Shaleh Al-Marwi dan
tokoh-tokoh ulama fiqih Bashrah untuk dimintai pendapatnya tentang
berbagai masalah.
Zainab binti Ummi Salamah, dilukiskan oleh lbnu Katsir salah seorang
yang paling dalam ilmu agamanya di Madinah saat itu. Selain itu, ada
di antara para shahabat ra yang sering membacakan catatannya di
hadapan seorang shahabiyyah yang bernama Ummu Sa’ad binti Rabi’.
Mereka mohon dikoreksi bila terdapat kesalahan-kesalahan dalam
catatannya.
Ada lagi yang bernama Ka’biyyah binti Sa’ad Al-Aslamiyyah, salah
seorang dokter wanita. Beliau mendirikan tenda poliklinik yang
bersebelahan dengan masjid Nabawi, memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat Islam. Atas jasa jihad dan sosialnya itu, Rasulullah
memberinya hadiah sebuah anak panah di waktu perang Khaibar.
Rasul juga pernah menunjuk Asy-Syafa’ binti Abdullah untuk
mengajarkan tulis-baca kepada kaum muslimin. Asy-Syafa’ pun digelar “guru wanita pertama dalam Islam“. Selanjutnya, masih sederet nama dan peristiwa iagi yang sejenis.
Uraian di atas, jelas menggambarkan bahwa Islam tak pernah
mempersempit ruang gerak wanita menuntut ilmu dan menunaikan kewajiban
mereka membangun peradaban masyarakat Islam. Mereka, para shahabiyyat
mengerti kedudukan dan peranan yang mereka emban dalam menghasung
pembangunan sebuah masyarakat Islam. Mereka selalu aktif dalam proses
belajar dan mengamalkan ilmu-nya untuk orang lain, mereka berlomba
mencapai tingkat perjuangan yang maksimal untuk membangun
masyarakatnya.
Kedua,
seringkali mitos-mitos itu muncul bukan didasari nilai-nilai Islam.
Mitos dan aturan yang merugikan umat sendiri itu seringkali datang dan
luar Islam : adat, tradisi, dan pandangan masyarakat setempat hingga
rekayasa musuh-musuh Islam.
Masyarakat pra Islam, baik zaman sebelum Rasul maupun zaman kini,
kebanyakan memandang perempuan sebagal makhluq yang berderajat rendah.
Umar bin Khattab ra pernah berujar : “Pada
zaman jahiliyah kami tak pernah memberikan hak apapun pada wanita.
Sampai Allah Ta’ala yang Maha Tinggi menurunkan perintah yang penting
pada mereka dan memberikan pada mereka bagian yang tepat.”
Aristoteles memandang wanita adalah ‘makhluk yang belum selesai penciptaanya’. Sementara dalam Rig weda tertulis : “Tidak boleh menjalin persahabatan dengan wanita. Pada kenyataannya, hati wanita adalah sarang srigala.” (Rig Weda, 10, 95, 15).
Beberapa Pilar Peran Muslimah
Wanita muslimah bukanlah bilangan yang dapat diabaikan dan makhluq
yang dapat disia-siakan. Rasulullah SAW bersabda bahwa wanita adalah
saudara kandung laki-laki. Islam memberikan peluang yang sama besar pada
laki-laki mapun perempuan untuk mereguk sebanyak mungkin pahala yang
Allah sediakan bagi mereka yang beramal.
Ada beherapa pilar yang dapat dijadikan sandaran bagi muslimah untuk berkiprah dalam lapangan ilmiyah di masyarakat :
Pertama,
Pria dan wanita memiliki derajat hak dan tanggung jawab yang sama
disisi Allah Ta’ala. Namun jangan berpikir bahwa persamaaan ini juga
menuntut tugas yang sama. Sekali lagi, sebagaimana telah diungkap di
atas, keduanya ada dalam orbit yang berbeda. Keduanya memiliki tugas
dan peran yang berbeda-beda, namun saling melengkapi. Untuk itu,
keduanya pun harus memiliki bekal yang cukup sehingga tugas yang
diletakkan pada pundaknya dapat terlaksana.
Kedua,
pria dan wanita diberi bekal fitrah dan potensi yang sama. Saat Allah
Ta’ala menciptakan manusia, tak pernah dibedakan apakah ia perempuan
atau laki-laki. Karena itu, peluang perempuan untuk berprestasi
terbuka sama lebarnya dengan laki-laki. Tinggal sekali lagi, tentu
keduanya berada pada orbit masing-masing.
Maka tak heran jika Rasulullah SAW memuji wanita Anshar yang giat bertanya: “Allah akan merahmati wanita Anshar, mereka tidak malu-malu lagi mempelajari agama.”
Ketiga,
wanita islam haruslah wanita yang penuh dengan vitalitas dan kerja
nyata. Rasulullah SAW menganjurkan agar kaum wanita selalu berkarya, “Sebaik-baik canda seorang mukminah di rumahnya adalah bertenun.” (Asadul Ghabah, jilid 1, hal. 241).
Qailah Al-Anmariyah, seorang sahabiyah yang juga pedagang, pernah bertanya pada Rasul: “Ya
Rasulullah, saya ini seorang pedagang. Apabila saya mau menjual
barang, saya tinggikan harganya di atas yang diinginkan, dan apabila
saya membeli saya tawar ia di bawah yang ingin saya bayar. Maka Rasul menjawab, “Ya, Qailah! Janganlah kau berbuat begitu. kalau mau beli, tawarlah yang wajar sesuai yang kau inginkan. Dikasih atau ditolak.”
Ustadz Umar Tilmisani menyatakan bahwa Islam tidak melarang seorang
wanita menjadi dokter, guru sekolah, tokoh masyarakat, perawat,
peneliti dalam berbagal bidang ilmu, penulis, penjahit serta profesi
lain sepanjang itu tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya.
Keempat,
hendaknya aktivitas dibidang keilmuwan itu tidak melupakan tugas
utama seorang wanita sebagai penanggung jawab masalah kerumahtanggaan.
Firman Allah Ta’ala : “Dan hendaklah kamu tetap di rumah-rumah kamu…” (QS. al-Ahzab : 33).
Jika keserasian ini terjaga, maka tak hanya ummat Islam yang
heruntung karena mendapat tambahan tenaga dan partner baru dalam
berjuang, namun cita-cita menegakkan kalimat Allah kian datang
mendekat. Semoga Allah Ta’ala selalu menyertai langkah kita. Amiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar