Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal Pasal 17 ayat (2d) UU
PPh 1984 amandemen 2008, pemerintah pada tanggal 9 Februari 2009 telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2009. Walaupun berisi
empat pasal tetapi pada intinya, peraturan pemerintah ini hanya dua
pasal karena pasal 3 berisi pelimpahan wewenang ke menteri keuangan dan
pasal 4 merupakan saat berlakunya peraturan pemerintah ini yaitu 1
Januari 2009 atau berlaku mundur. Berikut kutipan Peraturan Pemerintah
No. 19 Tahun 2009 :
Pasal 1
Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.
Pasal 2
Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen
Pasal 1 diatas mirip dengan bunyi Pasal 17 ayat (2c) UU PPh 1984, yaitu :
Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.
Sebenarnya pasal 17 UU PPh 1984 masuk di Bab IV Cara Menghitung Pajak. Khusus pasal 17 UU PPh 1984 berjudul Tarif Pajak. Pasal 17 sering disebut tarif progressif karena pengenaan tarif progressif ada di pasal 17 ini. Karena itu, saya sebenarnya heran dengan kewajiban pemotongan PPh atas dividen menurut peraturan pemerintah ini. Dengan demikian, sejak sekarang ada pot put [withholding tax] PPh Pasal 17 ayat (2d).
PPh ini saya pikir bukan PPh Pasal 23 walaupun di Pasal 23 sendiri ada objek pemotongan PPh atas penghasilan dividen. PPh ini "seharusnya" disebut PPh Pasal 17 ayat (2d) karena :
[1.] Bagian menimbang Peraturan Pemerintah No. No. 19 Tahun 2009 menyebutkan PPh Pasal 17 ayat (2d). Artinya, pasal inilah cantolan atau dasar hukum peraturan pemerintah.
[2.] PPh Pasal 23 atas dividen yang diterima oleh orang pribadi dikecualikan dari kewajiban pemotongan PPh Pasl 23 berdasarkan Pasal 23 ayat (4) huruf c UU PPh 1984.
Sebagai catatan, Pasal 21, Pasa 22, Pasal 23, Pasal 26 berada di Bab V Pelunasan Pajak Dalam Tahun Berjalan, dan di pasal tersebut memang ada kewajiban untuk memotong dan memungut. Tapi PPh Pasal 4 ayat (2) yang sering disebut PPh Final di UU PPh 1984 tidak ada ketentuan pemotongan. Ketentuan atau tata cara pemotongan diatur di tingkat peraturan pemerintah. Begitu juga dengan Pasal 15 yang berisi norma penghitungan khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu.
Nah berikut ini adalah yang disebut dividen :
1. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4. pembagian laba dalam bentuk saham;
5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11. pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Pasal 1
Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.
Pasal 2
Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen
Pasal 1 diatas mirip dengan bunyi Pasal 17 ayat (2c) UU PPh 1984, yaitu :
Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.
Sebenarnya pasal 17 UU PPh 1984 masuk di Bab IV Cara Menghitung Pajak. Khusus pasal 17 UU PPh 1984 berjudul Tarif Pajak. Pasal 17 sering disebut tarif progressif karena pengenaan tarif progressif ada di pasal 17 ini. Karena itu, saya sebenarnya heran dengan kewajiban pemotongan PPh atas dividen menurut peraturan pemerintah ini. Dengan demikian, sejak sekarang ada pot put [withholding tax] PPh Pasal 17 ayat (2d).
PPh ini saya pikir bukan PPh Pasal 23 walaupun di Pasal 23 sendiri ada objek pemotongan PPh atas penghasilan dividen. PPh ini "seharusnya" disebut PPh Pasal 17 ayat (2d) karena :
[1.] Bagian menimbang Peraturan Pemerintah No. No. 19 Tahun 2009 menyebutkan PPh Pasal 17 ayat (2d). Artinya, pasal inilah cantolan atau dasar hukum peraturan pemerintah.
[2.] PPh Pasal 23 atas dividen yang diterima oleh orang pribadi dikecualikan dari kewajiban pemotongan PPh Pasl 23 berdasarkan Pasal 23 ayat (4) huruf c UU PPh 1984.
Sebagai catatan, Pasal 21, Pasa 22, Pasal 23, Pasal 26 berada di Bab V Pelunasan Pajak Dalam Tahun Berjalan, dan di pasal tersebut memang ada kewajiban untuk memotong dan memungut. Tapi PPh Pasal 4 ayat (2) yang sering disebut PPh Final di UU PPh 1984 tidak ada ketentuan pemotongan. Ketentuan atau tata cara pemotongan diatur di tingkat peraturan pemerintah. Begitu juga dengan Pasal 15 yang berisi norma penghitungan khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu.
Nah berikut ini adalah yang disebut dividen :
1. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4. pembagian laba dalam bentuk saham;
5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11. pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar